Kiai Harisah : “Kiai kampung, Pejuang NU”

Membaca tulisan kang Acep Zamzam Noor (putra kiai Ilyas Ruchiyat) yang berjudul NU dan Kiyai kampung, saya langsung teringat dengan kiai harisah (pimpinan pondok pesantren Annahdlah makassar) beliau bukan hanya sebagai guru yang mengajarkan luasnya lautan keislaman tetapi beliau juga sebagai sosok pemimpin yang luar biasa.

Gaya berfikir beliau tidak jauh beda dengan beberapa kiai-kiai besar NU yang berada di jawa, pernah suatu hari saya di ajak oleh sahabat saya idy muzayyad (ketua umum IPNU) yang kebetulan malam itu di telepon oleh kiai hasyim muzadi (ketua umum PBNU) untuk datang kerumah beliau. Sesampai dirumah kiai hasyim, saya dan idy harus menunggu dulu, karena pak kiai hasyim lagi menerima tamu, sampai pukul 24.00 (wita) barulah kiai hasyim menemui kami, tak lama ngobrol beberapa jam kiai hasyim mengajak kami berdua untuk jalan-jalan melihat pesantren mahasiswa Al-hikam depok yang dalam tahap pembangunan. Dalam benak saya saat itu agak sedikit jengkel, bagaimana tidak, jauh-jauh ke depok, larut malam, hanya untuk keliling melihat gedung yang masih dalam tahap pembangunan. Pada saat saya masih nyantri di pondok pesantren annahdlah, saya juga sering diajak oleh kiai harisah, setiap selesai pengajian shubuh kiai harisah menginspeksi pembagunan annahdlah kampus tiga. Ternyata apa yang dilakukan kiai hasyim sama, mungkin disinilah letak ke ikhlasan beliau dalam menyebarkan agama islam melalui pondok pesantren, bahkan merupakan karya seni tersendiri.

Ekstrimnya geografis kota makassar, serta karakteristik penduduknya pun sangat keras, setidaknya sulawesi selatan secara umum di tempati oleh beberapa suku diantaranya suku bugis, suku makassar dan suku mandar. Awal berdirinya pondok pesantren annahdlah berawal dari pengajian-pengajian biasa yang saat itu santrinya hanya berjumlah tujuh orang, sehingga pengajian ini diberi nama ashabul kahfi, generasi awal ini di bimbing langsung oleh kiai harisah yang saat itu baru selesai menamatkan pendidikannya di IAIN Alauddin makassar yang sekarang berubah menjadi UIN Alauddin.

Pergaulan yang sangat keras masyarakat kota makassar di dekade 1980an mampu dirubah oleh seorang kiai kampung, maenstream pemikirin masyarakat saat itu tidak jauh dengan masa-masa jahiliyah di jaman rasulullah, masyarakat makassar senang bermabuk-mabukan, tawuran dan berjudi. Sehingga sebahagian remaja-remaja yang ada saat itu enggan untuk belajar agama, untunglah seorang kiai muda mempunyai inisiatif merangkul remaja-remaja disekitaran rumah kiai harisah untuk di bimbing ke jalan islam.

Alhasil, dari tahun-ketahun perkembangan pengajian ini terus mengalami kemajuan sehingga rumah kiai harisah yang di jadikan tempat pengajian bertambah penuh sehingga tidak mampu lagi menampung anak-anak islam yang ingin mendalami agamanya.

Keikhlasan beliau dalam mengajarkan agama, membagun moral masyarakat serta membina remaja-remaja islam membawa beliau dalam membangun peradaban baru di kota makassar, pondok pesantren yang beliau rintis, yang awal mulanya hanya tujuh orang santri, kini menjadi ribuan santri. Tapi yang tidak pernah berubah, tempat belajar, saat saya masih nyantri di annahdlah kadang kelas-kelas kebanjiran ketika hujan tiba, atau kalau kelas-kelas pada penuh terpaksa saya harus belajar di dekat tempat sampah. Tapi kiai harisah tidak pernah mematahkan semangat kami, semangat beliau luar biasa dalam membangun pondasi keislaman ala ahlussunnah wal jamaah (aswajah).

Pada suatu hari saya pernah melihat beliau dalam keadaan pusing, ketika pondok pesantren kami mendapat musibah, dimana orang yang telah mewakafkan tanahnya untuk di bangunin pesantren tiba-tiba di tarik kembali, wallahu ’lam apa penyebabnya kenapa orang ini menarik kembali tanah wakaf yang telah di banguni pesantren. Sampai kiai harisah harus berurusan dengan pengadilan dan kepolisian, mahkamah agung pun lewat keputusan bandingnya memenangkan orang tersebut. Apa boleh buat, kami harus mencari keadilan kemana lagi?, tapi semangat kiai harisah tidak pernah surut dalam mengembangkan pondok pesantren annahdlah, justeru saya sangat terharu mendengarkan perkataan beliau dalam bahasa bugis ”resopa temanginggi, naletei pammase puang” kerja keras yang tiada henti akan mendapatkan rahmat dari Allah swt.

Apa yang saya ceritakan diatas adalah sebahagian persentuhan saya dengan guru yang sekaligus panutan saya kiai harisah, beliau yang telah mengajarkan saya banyak hal, bukan hanya ilmu keislaman, tapi ilmu ke teknikan pun beliau luar biasa, bukan hanya beliau sebagai kepala rumah tangga ketika beliau berada ditengah-tegah keluarganya, tetapi beliau bisa mengambil peran sebagai orang tua ketika beliau berhadapan dengan santri-santrinya, bahkan beliau menjadi aktivis pembela Nahdlatul Ulama (NU) ketika orang-orang ”kuning” mengkebiri NU saat itu, kiai harisah tampil sebagai salah satu orang yang berani mempertaruhkan jabatan beliau sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dari pada beliau harus keluar dari Nahdlatul Ulama.

Dimana pada masa orde baru, sulawesi selatan pada umumnya di kuasai oleh ”orang-orang kuning” pondok-pondok pesantren harus masuk ke dalam partai kuning, kiai-kiai pun harus mendukung partai kuning kalau pesantrennya mau di bantu dan di perhatikan oleh pemerintah.

Disinilah pertaruhan ke NUan di coba, ternyata sebahagian orang-orang NU merasa takut sehingga mereka ramai-ramai meninggalkan NU (Pragmatis). Disinilah saya melihat pertaruhan kiai harisah, beliau siap di copot PNS-nya, beliau siap pesantren annahdlah tidak dapat bantuan dari pemerintah dari pada beliau meninggalkan Nahdlatul Ulama. Pada akhirnya juga pondok pesantren Annahdlah besar tanpa ada bantuan sedikit pun dari pemerintah.

Memasuki era reformasi, dimana episode reformasi menghantarkan kemenangan kaum santri pada puncak kepemimpinan nasional di republik ini, bapak santri yaitu kiai Abdurrahman Wahid sebagai presiden ke empat, sejumlah tokoh-tokoh yang pernah mengikrarkan diri keluar dari NU kini berbondong-bondong kembali menyatakan diri sebagai ”pejuang NU”. Bahkan tanpa ada rasa malu, mereka menggesar posisi kiai harisah sebagai kiai struktural di NU, tanpa merasa tergusur pun kiai harisah masih membangun pondasi ke islam ala ahlussunnah wal jamaah, beliau masih mempunyai keyakinan bahwa Nahdlatul Ulama mempunyai kader-kader tangguh dalam mempertahankan ahlussunnah di indonesia, beliau juga masih mempunyai rasa nasionalisme keindonesiaan yang kokoh, yang setiap harinya selalu di ajarkan pada jamaah dan santri-santrinya.

Pondok pesantren annahdlah merupakan ujung tombak pertahanan NU di timur indonesia, pengkaderan intelektual muda Nahdlatul Ulama lahir dari Annahdlah. Bahkan saya pun masih optimis masih banyak kiai-kiai kampung seperti kiai harisah yang masih ikhlas membangun mentalitas ke NUan di hati anak-anak muda indonesia, sehingga seratus tahun kedepan Nahdlatul Ulama masih bisa berdiri kokoh.

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Welcome |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.